MENGAPA KITA BERKATA “ADA”?

Oleh : Suprayitno

Berita tentang hasil survei atau jajak pendapat yang diselenggarakan oleh Harris Poll mengenai tingkat keberagamaan atau keyakinan masyarakat Amerika Serikat terhadap Tuhan, menunjukkan separuh penduduk AS tak yakin Tuhan ada (SM, 2/11/06). Hasil jajak pendapat itu bagi bangsa kita yang religius ini, merupakan berita yang memprihatinkan. Sebab, andaikata jajak pendapat itu dilakukan di negara kita pasti hasilnya akan jauh berbeda. Mungkin masyarakat kita 99 persen atau bahkan 100 persen yakin adanya Tuhan.

Tulisan ini ingin membahasnya melalui pendekatan filsafat (ontologisme) yaitu mengapa kita berkata ada? Apa sebenarnya yang dimaksud ‘ada’? Kemudian apa bedanya antara ada berdasarkan ‘pengetahuan’ dan ada berdasarkan ‘keyakinan’? Bisakah yang tidak ada kita katakan ada? Bagaimana syarat-syarat “keberadaan” sesuatu?

Substansi dan Ada

Kita sering mendengar dari para pengkhotbah, bagaimana mereka berbicara tentang Tuhan, surga-neraka, jin, syaitan, malaikat dan roh. Mereka pada umumnya dapat menjabarkan dengan sangat fasih, apa kemauan-kemauan Tuhan terhadap kehidupan ini. Bagaimana keadaan surga-neraka, biografi syaitan, tugas-tugas para malaikat dan sebagainya. Tetapi ketika kita tanyakan, mengapa Tuhan ada? Bagaimana jika Tuhan tidak ada? Jawaban dan argumen yang disampaikan pada umunya lebih bersifat doktrinal berdasarkan teks atau bersifat scriptural dan ditambah dengan penafsiran atau pendapat dari dirinya sendiri. Artinya apa yang mereka sampaikan bukanlah atas dasar “pengetahuan” tetapi lebih pada opini atau keyakinan belaka. Padahal kita tahu bahwa ada perbedaan epistemologis antara pengetahuan dan keyakinan.

Pada umunya, lebih banyak pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘ada’ adalah suatu obyek yang dapat kita raba, dapat dipegang, dilihat, dirasakan, atau didengarkan. Tetapi, jawaban simpel seperti itu bisa kita balik menjadi “Apakah sesuatu yang tidak bisa kita raba, kita pegang, kita lihat, kita rasakan dan kita dengarkan berarti tidak ada?” Kemudian bagaimana dengan banyak orang seperti orang Amerika yang ternyata tidak bisa merasakan adanya Tuhan, apakah dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Tuhan itu tidak ada? Para pengkhotbah juga belum pernah piknik melihat-lihat kemewahan dan keindahan surga dimanakah lokasi yang disebut surga atau neraka, tetapi mengapa mereka bisa berkata bahwa surga neraka itu benar-benar ada? Layakkah kita bersepekulasi tentang ada, hanya berdasarkan opini/keyakinan?

Sebelum lebih jauh kita membahas makna kata “ada”, marilah kita amati penggunaan kata “ada” dalam keseharian kita. Sebab dengan contoh-contoh sederhana yang nyata maka persoalan yang rumit tentang ontologisme dan epistemologi (bagian dari ilmu filsafat Barat), akan lebih mudah kita pahami. Saya berikan ilustrasi nyata dalam suatu transaksi di sebuah warung makan. Seorang calon pembeli bertanya kepada pelayan “mBak ada sayur oblok-oblok?” sambil kemayu, si pelayan menjawab “Enggak ada Mas!”.

Calon pembeli tidak percaya begitu saja, kemudian dia mencoba melihat satu persatu tempat sayur yang ditata rapi di atas meja. Ternyata sayur oblok-oblok yang dicari masih ‘ada’ dan cukup banyak tersedia. Dengan wajah girang, si pembeli berkata “Lho ada gini kok dibilang tidak ada, gimana to mbak?” Si pelayan sambil tersenyum genit berkata “ Woalah Mas… Mas, ini namanya bukan oblok-oblok, tapi pelas daun singkong!” Calon pembeli segera sadar, lain tempat lain namanya.

Masih terdapat seribu satu contoh perbedaan istilah yang bisa kita temukan pada masing-masing daerah tentang pemberian suatu nama. Namun, dari perbincangan itu apa hubungannya dengan pembahasan kita mengenai “ada”? Ternyata yang dikatakan ‘ada’ oleh seseorang, belum tentu orang lain berkata ‘ada’. Dengan demikian apa sebenarnya yang dimaksud ‘ada’?

Semiotika Komunikasi

“Ada” adalah suatu istilah untuk mengidentifikasi sesuatu keberadaan. Tanpa adanya istilah maka kita tidak akan pernah bisa dikatakan “ada”. Kita tidak pernah bisa mengatakan matahari itu ada, jika kita tidak pernah menamai atau menandai benda tersebut sebagai matahari. Jadi ‘ada’ sebenarnya hanyalah masalah semiotika komunikasi, yaitu bagaimana kita menandai sesuatu. Dengan ilmu tentang tanda (semiotika) itulah akhirnya segala sesuatu bisa dikatakan ADA. Meskipun Rene Descartes (1596-1650) berpendapat lain yaitu, cogito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada. Jadi menurut Descartes, kita bisa berkata “ada” karena kita bisa berpikir untuk berkata “ada”.

Ilustrasi di atas ingin membuktikan bahwa substansi “sayur oblok-oblok” sebenarnya ada. Tetapi keberadaan sayur itu bisa diberi berbagai macam penanda. Akhirnya, ada dan tidak ada hanyalah soal penanda bukan substansi. Misalnya, kita menyebut sayur oblok-oblok, apakah sebenarnya substansi dari sayur tersebut? Makna, itulah yang paling penting dijelaskan.

Kembali pada persoalan di atas, Tuhan itu ada, demikian dikatakan oleh orang-orang yang beriman. Tanpa bantuan semiotika, niscaya kita tidak pernah bisa berkata ‘ada’. Ada atau dikatakan tidak ada, sebenarnya bukan hal penting, karena substansilah yang paling penting. Apa sebenarnya substansi atau makna dari Tuhan? Apa sebenarnya substansi dari sayur oblok-oblok? Substansi benda abstrak lebih berada dalam ruang pemikiran. Tuhan adalah sesuatu yang abstrak, sehingga substansi Tuhan berada pada pemikiran. Sedangkan substansi benda kongkrit (sayur oblok-oblok dan sebagainya), berada atau menyatu dengan benda itu sendiri.

Kesimpulannya, bahwa yang dikatakan ada sebenarnya hanyalah “istilah” . Jadi ada tidak benar-benar selalau ada, sebab yang pasti ada adalah “substansi”. Yang dikatakan sayur oblok-oblok sebenarnya sama dengan sayur pelas daun singkong. Barangnya (substansinya) sebenarnya ada, tetapi bisa dikatakan tidak ada hanya karena perbedaan istilah (perbedaan semiosis).

Dengan demikian perdebatan mengenai apakah Tuhan ada atau tidak ada, juga berada dalam ranah semiotika. Tidak menghunjam pada substansi. Sebab, tak ada yang mampu mengurai substansi Tuhan secara benar. Substansi Tuhan berada atau tersimpan dalam “angan-angan” atau pemikiran. Menjadi diskursus yang sangat penting untuk kita bahas adalah apa sebenarnya yang dinamakan pemikiran? Dan apa yang bukan pemikiran? Mengapa ada pemikiran? Dari mana sumber pemikiran? Apa yang mempengaruhi pemikiran? Bagaimana pemikiran yang benar dan bagaimana pemikiran yang sesat? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang akan muncul ketika kita akan membuka diskusi lebih jauh tentang pemikiran atau angan-angan. Menurut saya, mempelajari pemikiran sama saja dengan terbang di alam tanpa batas.

Bagi yang percaya adanya Tuhan, karena mereka mampu mengonstruksikan angan-angannya untuk memproduksi suatu citra tentang Dia. Sebaliknya, bagi yang tidak percaya adanya Tuhan, karena mereka lebih dipengaruhi oleh filsafat materialisme, dimana daya angan-angannya hanya mampu merespon realitas (sesuatu yang bersifat nyata). Namun, dari dua perbedaan mendasar tersebut, substansi Tuhan tetap berada dalam pemikiran. Maka sungguh Tuhan tak terbatas. Artinya, substansi Tuhan tidak bisa dikejar dan dibatasi oleh manusia siapa pun. Tuhan adalah ruang kosong yang digambar. Oleh sebab itu ketika orang-orang Amerika tidak mampu “menggambar” wajah Tuhan, maka mereka berkesimpulan Tuhan tidak ada.

Ada dua pandangan atau konsep tentang Tuhan, yaitu ada yang “berkeyakinan” bahwa Tuhan adalah sosok “outside” dari diri kita. Pandangan ini akhirnya meyakini atau menempatkan posisi Tuhan sebagai yang diluar (outside) yaitu sebagai “Sang Raja”. Dia ada di kerajaan sana, sedangkan manusia ada di sini. Terdapat jarak atau pemisah antara Tuhan sebagai yang menguasai dan manusia sebagai yang dikuasai.

Sedangkan pandangan yang kedua menempatkan Tuhan sebagai “inside”. Artinya, Tuhan bukan ‘dia’ tetapi ‘aku’. Tuhan adalah aku, tetapi aku bukanlah Tuhan. Landasan filosofi yang digunakan adalah, Tuhan ada berdasarkan bagaimana kita memikirkaNya. Jika kita tidak mampu “membayangkan atau memikirkan” keberadaanNya maka Tuhan tak pernah ada. Dengan demikian Tuhan merupakan dzat yang senantiasa menyatu (inherent) dengan kehendak manusia.

Penutup

Tuhan dan hantu, jelas tidak sama, tetapi keduanya adalah obyek “abstrak” yang bisa hadir sesuai dengan bagaimana kita mencitrakannya. Citra adalah sebuah produk yang tidak lepas dari faktor “kultur” sehingga persepsi hantunya Amerika tentu berbeda dengan hantunya orang Indonesia.

Hantu orang Amerika sering digambarkan sebagai vampir yaitu sosok yang mempunyai gigi taring menyeramkan untuk menyedot darah korban. Sedangkan hantu versi orang Indonesia sering digambarkan berujud “pocongan”. Perbedan kedua citra ini karena latar belakang kultur yang berbeda antara Amerika dengan Indonesia.

Demikian juga citra tentang Tuhan, ada yang berpendapat bahwa sosok Tuhan adalah berjenis kelamin laki-laki, ada juga yang berkeyakinan Tuhan tidak memiliki jenis kelamin, dan sebagian ada yang berpendapat Tuhan itu laki-laki tetapi sekaligus perempuan. Pertanyaannya mana yang benar? Jawabannya tentu semua benar, jika ukuran yang dipakai adalah “angan-angan”.

Ada atau tidak ada Tuhan, serta bagaimana kita memberikan karakter untukNya sebenarnya bukan sesuatu hal yang perlu diperdebatkan apalagi sampai menimbulkan korban. Sebab yang paling penting adalah bagaimana kita akan memaknaiNya setelah kita percaya atau mereka yang tidak percaya terhadap keberadaan Tuhan. Jika kita percaya terhadap Tuhan, tetapi prilaku kita anti terhadap citra idealistik yang dibawakan untukNya maka kita menjadi orang yang berTuhan tetapi hanya asyik untuk kepentingan dirinya sendiri.

Kita menjadi pemuja Tuhan tetapi melupakan tugas-tugas kemanusiaan kita terhadap sesama. Bagi yang tidak percaya adanya Tuhan, juga tidak perlu disalahkan sepanjang keyakinannya itu tidak membuat prilaku mereka menjadi anti kemanusiaan.

22 tanggapan untuk “MENGAPA KITA BERKATA “ADA”?

  1. Kita berkata bahwa sesuatu itu ADA karena keyakinan nurani secara LAHIR DAN BATIN.
    Tingkatan awal kita mengenal sesuatu karena ada respons yg bisa kita lihat/dengar/pegang dan kita rasakan.

    Kita semua sadar bahwa manusia mempunyai AKAL BUDI yang berbeda dengan makhluk lain.
    Untuk itulah semakin kita dewasa,akal dan budinya semakin berkembang sehingga bisa meningkatkan taraf hidupnya.Inilah tingkatan manusia yang ada saat ini [ 50% pada masyarakat modern di Amerika]

    Pada tataran manusia yg lain,perkembangan akal budi semakin tinggi dan semakin berproses unt lebih memahami dan meyakini”sangkan paranig dumadi”Segala sesuatu itu ada awal dan akhir,ada penciptaan dan ada kehancuran.
    Syaratnya keberadaan ini harus dimulai dari PIKIRAN YANG WENING/HENING DISERTAI AKAL BUDI YANG LUHUR.Untuk tingkatan ini,setiap manusia berbeda,tergantung kepekaan jiwa dan relasi masing2 thd alam dan manusia.

    Ada sistem yg berbeda dlm mengatakan Tuhan ada/tidak.
    ^karena pengaruh ekonomi global,manusia dituntut unt bekerja lebih keras unt mengejar kepentingan duniawi sehingga nilai2 rohani banyak yg luntur.Mereka sudah lupa kepada “sing akarya jagad”Tuhan itu tidak ada.Inilah sistem yg berlaku dikalangan manusia.

    ^Sedang yg lain sistem yg berlaku didalam dzat yang maha tinggi.Yang mengarah pada “kasampunaning gesang kanggo memayu hayuning jagad”Hal ini bisa dirasakan secara lahir,namun juga bisa kita rasakan adanya “Gusti kang mubeng dumadi lan akarya jagad”Jadi yakin Than itu ada.

    Ya…,semoga iman dan kepercayaan kita kuat.

    **********
    amien Yangkung 😀
    semoga iman kita sungguh menjadi kebenaran bagi kita, bukan kebenaran katanya

  2. Lah…lah….CEKAK AOSE,

    TUHAN itu ADA, karena manusia yang meng-ADA-kan. Coba saja kalau gak ADA manusia, apakah TUHAN itu ADA???? Trus kalau ADA siapa yang BILANG…???

    Kabuuuuuuuuuurrrrrr…..

    **********
    aja mlayu dhisit Kang
    dilanjut di tulisan saya berikutnya

  3. tulisan2 pak supratyitno memang selalu reflektif. idealnya memang antara nilai ketuhanan dan kemanusiaan ibarat sebuah mozaik. saling melengkapi dan keduanya harus sama2 ada. kalau salah satunya ditiadakan, mozaiknya jadi ndak enak dipandang dan dinikmati, pak tomy, hehehe ….

    **********
    leres sanget Pak Sawali, keseimbangan antara mengamini dan meng-alam-i 😀

  4. Aku baca aja ya…filsafat sulit sekali dipahami dan bingung mau komentar

    **********
    mangga silahkan Bu, senang hati saya Ibu sudah berkunjung 😀

  5. Ada “ada”, dan saya percaya dalam “ada” kita ini ada naluri ‘fitrah’ yang selalu mencari Siapa yang meng-“ada”-kan kita ini.
    Bagai bayi lahir yg akan mencari susu ibunya (karena itu adalah nalurinya utk minum, haus atau lapar). Tidak ada bayi yg dg gagahnya bilang, “Aku tidak butuh susumu, Bu.”
    🙂

    **********
    kita selalu ada dalam pencarian Kang yang sebenarnya tinggal menunggu ditemukan 😀

  6. Dear Mas Tommy Arjunanto … ,

    Apakah , religiusitas itu, haruslah selalu berdasarkan kepercayaan kepada adanya TUhan ?

    Saya rasa tidak… ,

    Bahkan, orang2 yang percaya kepada adanya Tuhan pun, bisa sangat tidak religius dan bermoral… .

    Religius, menurut saya lebih kepada letak moralitas seseorang serta kesempurnaan dalam mengembangkan spiritualitasnya serta bagaimana ia senantiasa “hening”… .

    Oiya, patokan religiusitas yang berdasarkan kepada kepercayaan kepada adanya Tuhan, bisa sangat terbantah loh… ,

    Buktinya, Sang Buddha, menegaskan tidak adanya Tuhan Yang Maha “…”, namun beliau sangat religius, sangat “dalam”, hening luar biasa, dan pencapaian spiritualitasnya pun tidak ada manusia dan dewa yang bisa membantahnya 😉

    Nah loh mas… ,

    Jadi, religius atau tidak religius, patokannya bukan percaya atau tidak percaya pada Tuhan to mas ? 😉 😀 :mrgreen:

    Sependapat dengan mas Santri Gundhul, Tuhan ADA karena di Ada-kan oleh manusia 😉 😀 😛

    http://ratnakumara.wordpress.com

    **********
    dalam Jawa dituturkan begini : luwih tuwa dzating manungsa tinimbang dzating pangeran, sadurunge ana manungsa ora ana Gusti anane mbek, guk-guk kaliyan petok :mrgreen:
    setuju sekali bahwa implementasi budi pekerti luhur yang membuat manusia purnama, ada atau tidak ada tuhan

  7. Apakah religiusitas harus berdasarkan kepercayaan akan adanya Tuhan ?

    Saya rasa tidak mas Tommy…,

    Bahkan orang2 yang percaya akan adanya Tuhan pun bisa sangat tidak religius, sebaliknya orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan malah bisa sangat religius…,

    Sang Buddha, dengan tegas menyatakan, tidak adanya Tuhan Yang “Maha…dst”, namun, siapa yang berani mengingkari, bahwa Beliau adalah seorang manusia yang sangat religius, bahkan termasuk BANGSA BUDDHA ? Bangsa diatas manusia, dewa, Brahma, dan semua makhluk maupun non makhluk ?

    Sekedar pendapat lo mas, wacana yang berbeda dari perspektif Buddhis…. 😉

    http://ratnakumara.wordpress.com

    **********
    dalam banyak hal Ilmu Jawa sangat sejalan dengan Budha, bahkan dalam konsep ketuhanan. saya sempat stress ketika pertama kali bertemu Mbah saya yang mempunyai karunia menembus berbagai macam alam, beliau bilang Tuhan kuwi ora ana. sing lungguh ing dampar kencana dijaga malekat nganggo elar, kabeh mung wujud angen-angenmu

  8. Dear Mas Tommy…,
    Ndherek memberikan wacana nggih mas 😉
    Ini hanya sekedar wacana , yang berbeda, dari sudut pandang umumnya saja… 😉

    Menurut kami, Religiusitas tidak bisa dinilai dengan tolok ukur ber-Tuhan atau tidak ber-Tuhan.

    ORang2 yang percaya Tuhan bisa sangat tidak religius, sangat bejad.
    Orang2 yang tidak mengakui keberadaan Tuhan yang dikonsepkan sebagai “Maha…dst” bisa sangat religius dan sangat dalam spiritualitasnya.

    Sang Buddha, menolak konsep adanya Tuhan Yang “Maha…dst”, Pencipta Alam semesta, Penentu, dst. Namun, siapa yang berani tidak mengakui tingkat kedalaman spiritual beliau yang sudah tidak bisa digapai manusia lagi ? 😉

    Semua siswa Sang Buddha, menolak konsep TUhan Yang “Maha…dst”, namun bisa hidup dengan sangat religius dan memperdalam spiritualitasnya hingga terus menerus menuju kedalaman yang tak terhingga lagi 😉

    Mekaten mas, urun rembug dari saya,
    Nuwun… .

    http://ratnakumara.wordpress.com

    **********
    matur nuwun sanget Mas seserepanipun saged nambah kawruh kawicaksanan dumatheng kula, Gusti menika saking keratabasa Bagusing Ati, langkung utama ingkang saged anglakoni tinimbang ingkang ngakoni. menika sampun kula luwari saking pakunjaran spam hehehe :mrgreen:

  9. Kalu saya kok setuju pernyataan Pak Gusdur, katanya:Tuhan itu ya ada kalu kita percaya ada, tapi kalu ga percaya ya ga ada.Gitu aja kok repot!
    Ini kata Pak Gusdur lho mas Tomy..
    Oya selamat atas tampilan rumah batunya, semoga makin regeng, edum, tintrim dan menyegarkan seperti rujak wuni, he he

    **********
    Ya Mas Herjuno, semua tergantung dari kita sendiri. Apakah pilihan kita membuat hidup kita mencapai kepenuhannya atau tidak
    Matur nuwun sanget Mas 😀

  10. rahayu
    sebenarnya kalau tidak mengakui adanya tuhan itu disebut orang berpaham sekuler.
    sedangkan yang mengakui adanya tuhan disebut orang berkepercayaan kepada tuhan.
    hidup adalah pilihan seperti memilih dua sisi mata uang yang berbeda
    ada konsistensi dan keuntungan dari masing-masing kedua penganut itu. kiro-kiro ngono
    ayo podo jinjim tintrim selamat dengan nama baru
    mugi rahayu selamet, nir ing sambikolo
    wass wb

    **********
    Leres Mas 😀 sing penting ora mung anut-anut tanpa waton
    Matur nuwun, salam karahayon

  11. celetuk Descartes sudah di”koreksi” oleh Nietzsche sebenernya: dia bilang “Aku berpikir, maka kesadaran itu ada” (Tapi tetap saja Descartes lebih laku dari Nietzsche, ilmu marketing kali yak?)

    Perenungan Nietzsche malah sejalan dengan kearifan dari timur sebenarnya, di mana proses berpikir merupakan salah satu aspek dari kesadaran (mental).

    **********
    Nietzche juga yang meletakkan dasar dari pembacaan ulang terhadap semua tanda agar kita tak terjebak dalam nihilisme, mengulang-ulang tanda tanpa pernah memaknainya lagi. Maka setuju sekali saat ia bilang kita telah membunuh tuhan.

    Kalo kategori Tuhan cuma dibatasi dua (outside and inside), lalu konsep monisme dan panteisme dimasukkan kategori mana?

    **********
    Semua coba saya tulis di Ibu Jendra, konsep monism & panteisme dalam kidung Jawa

  12. Saya sudah coba baca postingan Ibu Jendra kemarin… tapi karena ga bisa bahasa Jawa, antara ngerti dan tidak isinya 😥

    **********
    :mrgreen:
    Mengikuti suatu tradisi yang panjang H. P. Owen mengklaim bahwa
    “Pantheist adalah monists … mereka percaya bahwa hanya satu Ada, dan bahwa semua wujud yang lain dari realitas adalah mode atau tampilan lain darinya atau identik dengannya.”

    Monism & pantheisme dalam budaya jawa tersebar dibanyak kitab seperti Wirid Hidayat Jati o/ Ranggawarsita, Triloka o/ Siti Jenar, Kaki Waloka o/ Sunan Kalijaga, Ibu Jendra o/ Panembahan Senapati dan masih banyak lagi.
    Pada intinya monism jawa percaya akan satu substansi dasar pembentuk semesta yang disebut Dzat Yang Maha Suci yaitu inti2 atom, yang dalam evolusinya secara sempurna mewujud dalam diri manusia. Manusia, makhluk berkesadaran yang mampu berkata ada,
    & pantheime Jawa mengatakan semua yang ada dialam semesta ini adalah Sirullah, Dzatullah, Ujudullah. semua adalah dzat & ujud tuhan, begitu Mas apa Mbak 😀

  13. wah … mantap sekali pembahasannya, serta kenetralan mas Tomy membuat jawabannya mudah dimengerti oleh orang awam (seperti saya) sekalipun.

    nderek ngangsu kawruh mas Tomy,

    salam,

  14. membahasa tuhan itu ya dengan ahlinya…

    bukan di bahas sendiri… sampai kapanpun anda membahas tidak ada jalan terang lek…

    tanya kepada ahli dzikir yang memang benar-benar di utus tuhan untuk menyampaikan ajaran dan wahyu kepada manusia yang mempercayai adanya imam mahdi yang mengada di tengahmu.

    artikel indah tetapi tidak ada patokan kemana harus di ikuti

  15. @ 3 yoga
    sami2 Pak
    kita saling berbagi saja

    @ papto
    Terimakasih sudah sudi berkunjung & mengapresiasi
    Tulisan ini ditulis & diposting karena saya tidak percaya makelar

  16. hmm.. dunia bentuk dan dunia makna… sampai lahirlah intuisi… hmm.. mudah mudahan beneer maklum OON.. hiduplah dalam dunia intuisi..
    Salam Sayang

  17. salam kenal
    sebenarnya ada itu tanpa lawan, kalo lawannya tidak ada tapi ada, lha wong ada saja tidak bisa ngomong tidak ada, jadi yg ngomong tidak ada itu bener2 ada…mumet

Tinggalkan Balasan ke Santri Gundhul Batalkan balasan